Rabu, 21 November 2012

Batubara kita untuk siapa??

Sedikit pemikiran mengenai salah satu sumber daya kita...

Negara yang memiliki kandungan sumber daya energi yang besar, identik dengan kemakmuran. Logikanya sederhana, kekayaan alam tersebut akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Harga produk industri menjadi lebih kompetitif di pasar internasional karena input energi yang murah dan berlimpah. Pembangunan berbagai infrastruktur akan berjalan pesat dan pengentasan kemiskinan dapat terwujud karena ditopang devisa dari hasil penjualan kekayaan alam dan produk industri. Masyarakat akan dengan mudah mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang mamadai. Hasilnya, sumber daya manusia berkualitas yang dihasilkan akan semakin memperkuat daya saing internasional dan kemandirian negara tersebut.

Namun rupanya tidak semua negara penghasil sumber daya alam energi mengikuti alur seperti itu. Dengan kekayaan alam yang berlimpah, beberapa negara justeru mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing.
Nigeria adalah salah satu contoh klasik sebuah negara kaya minyak yang justeru mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama beberapa dekade. Inilah yang disebut oleh kalangan ekonom sebagai (the resource curse atau the paradox of plenty ), dimana kekayaan alam yang berlimpah tidak memberikan berkah tetapi justeru membawa bencana.

Nasib Indonesia yang juga memiliki kekayaan sumber energi memang tidak semalang Nigeria, namun juga tidak bisa dikatakan berhasil dibandingkan beberapa negara berkembang di kawasan Asia yang justeru relatif miskin sumber daya alam. Salah satu penjelasan tesis "the resource curse "adalah terabaikannya sektor industri dan pertanian karena pemerintah terbuai untuk mengandalkan devisa dari penjualan kekayaan alam. Gambaran pengelolaan produksi gas alam dan batubara di negeri kita sedikit banyak menjadi bukti pembenaran atas tesis tersebut.

Obral sumber daya energi tidak hanya terjadi pada gas alam, tetapi juga batubara. Sepanjang tahun 2005-2006, Indonesia menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Ekspor tersebut mampu menutup 25 persen permintaan pasar batubara dunia (TEMPO Interaktif, 6 Mei 2007). Produksi batubara Indonesia tahun 2011 lalu naik 34,4% menjadi 371 juta ton dari realisasi tahun 2010 sebesar 276 juta.

Bahkan untuk tahun 2012 adalah Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan optimis jika produksi batu bara di Indonesia bisa mencapai 380 juta ton. Ironisnya, konsumsi batubara perkapita Indonesia justeru termasuk yang terendah diantara negara-negara produsen batubara. Bahkan konsumsi batubara perkapita Indonesia hanya separuh dari Malaysia dan Thailand, padahal keduanya tergolong miskin cadangan batubara.

Jumlah cadangan terbukti batubara Indonesia sebenarnya tidak istimewa, kurang lebih 12 milyar ton (DJLPE, 2007). Dari lima besar negara ekportir batubara, Indonesia adalah yang paling sedikit memiliki cadangan terbukti. Jumlah cadangan sebesar itu relatif tidak signifikan jika dibandingkan dengan cadangan Rusia yang besarnya mencapai 157 milyar ton atau China sebesar 114 milyar ton. Di dunia, cadangan batubara Indonesia hanya menempati urutan ke 13 dengan jumlah setara dengan 1,3 persen seluruh cadangan batubara dunia.

Negara-negara besar yang memiliki produksi batubara besar umumnya memprioritaskan pemakaian batubara untuk kebutuhan domestik. Amerika Serikat dan China, misalnya, memanfaatkan lebih dari 95 persen produksi batubara mereka untuk konsumsi domestik. India bahkan memanfaatkan seluruh batubara mereka untuk konsumsi dalam negeri. Kondisi serupa juga terjadi di Rusia, Polandia dan Afrika Selatan, dimana lebih dari 70 persen produksi digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Sementara di Indonesia kondisnya sangat bertolak belakang, 75 persen batubara justeru diarahkan untuk tujuan ekspor.

Peranan penting batubara tidak bisa dilepaskan dari sejarah industrialisasi umat manusia. Tersedianya batubara yang melipah di negara-negara Eropa telah menghantarkan mereka memasuki era industrialisasi dan kemakmuran seperti sekarang ini.Di Amerika, selama satu abad terakhir batubara telah menjadi penggerak ekonomi negara tersebut dengan menyediakan lebih dari separuh kebutuhan listrik mereka. Kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga beberapa tahun yang akan datang,

Laporan yang disusun oleh Pennsylvania State University menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya batubara di negera tersebut untuk pembangkitan listrik diperkirakan akan menciptakan pemberdayaan ekonomi pada jutaan usaha dan industri kecil serta rumah tangga dan membuka 6.8 juta lapangan kerja baru [Rose, 2006].Dua raksasa ekonomi Asia, Cina dan India, juga memilih memanfaatkan sebagian besar batubaranya untuk keperluan domestik sebagai sumber energi pembangunan ekonomi ketimbang sebagai komoditi ekspor.Di Korea, konsumi batubara terbukti memiliki pengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, hambatan pada konsumsi batubara akan berpotensi besar dalam menghambat pertumbuhan ekonomi Korea. Ini mendorong pemerintah Korea untuk meningkatkan jaminan pasokan batubatra untuk jangka panjang [Yoo, 2006].

Kenyataan serupa juga berlaku di negara-negara yang lain. Alasannya sangat jelas, selama ini batubara masih merupakan pilihan paling murah dan berlimpah dalam penyediaan energi untuk pembangunan ekonomi.Berkaca dari pengalaman negara-negara tersebut Indonesia semestinya memanfaatkan sumber daya batubara yang dimilikinya untuk mendukung pembangunan industri. Tentu pemanfaatan batubara tersebut harus tetap mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan dan keselamatan. Menjadikan batubara sebagai komoditi ekspor andalan adalah kebijakan yang keliru.

Krisis pasokan gas serta rendahnya konsumsi gas dan batubara di tanah air pada saat Indonesia menjadi ekportir terbesar batubara dan gas dunia adalah gambaran kecil carut-marutnya pengelolaan sumber daya energi di negeri ini. Untuk itu paradigma bahwa sumber daya alam semata-mata sebagai komoditas perlu diubah. Gas alam, batubara dan sumber energi lainnya adalah aset pembangunan yang harus dilindungi ketersediaanya untuk menjamin keberlangsungan pembagunan dalam negeri. Jika pemerintah saat ini belum mampu mengelola sumber daya alam tersebut maka akan lebih baik jika kita percayakan generasi yang akan datang untuk mengelolanya secara lebih arif, bukan dengan mengobral untuk membantu pembangunan negara lain.

Semoga batubara kita memberikan manfaat yang lebih luar biasa bagi Indonesia...


(mengenal) Awal Pendidikan Geologi di Indonesia

Geo... Geo.. Geologi... Maju terus sampai mati....
(penggalan lirik lagu Mars Cage)

Lucu juga kalau mengingat lagu itu dinyanyiin. Sekarang sih. Kalau dulu mungkin nggak begitu.
Tapi yang menarik juga adalah semangat untuk kemajuan geologi harus selalu dijaga oleh mereka yang berada di jalur geologi (apakah aku termasuk? Yes, I hope so).

Dan untuk maju dalam geologi, maka pendidikannya harus selalu membaik.
Salut untuk mereka yang selalu berjuang untuk mendidik kita semua pada geologi. Salut untuk saudara saudaraku yang tetap 'meng-geologi-kan' masyarakat Indonesia.
Dan tentunya agar SDA kita memang menjadi milik bangsa, tentunya kemampuan geologi kita harus lebih dari para geologist luar.

Barusan aja, membaca sejarah pendidikan geologi yang ditulis oleh Prof RP Koesoemadinata dan dimiat juga di Berita IAGI serta blog dongeng geologi, jadi terharu atas perjuangan para 'penegak' geologi.

Berikut aetikelnya:

AWAL PENDIDIKAN GEOLOGI DI INDONESIA
oleh R.P.Koesoemadinata

Lain dengan pendidikan kedokteran, hukum, pertanian dan teknik yang telah dimulai pada awal abad ke-20, pendidikan geologi sangat terabaikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan geologi untuk orang Indonesia terbata tingkatan “mantri opnemer” atau surveyor/juru ukur saja. Untuk kebutuhan tenaga ahli geologi dan insinyur pertambangan pemerintahan colonial Belanda mengandalkan lulusan universitas dan sekolah tinggi teknik dari Belanda da negara Europa lainnya.

Keadaan berubah setelah dimulainya Perang Dunia ke II pada tahun 1938 terutam setelah Tentara Jerman menginvasi negeri Belanda, sehingga hubungan terputus. Maka mulailah Pemerintah Kolonial Belanda pada tgl 10 Mei 1938 melalui mendirikan suatu lembaga pendidikan darurat yang dinamakan “Assistent Kursus” (Kursus untuk Asisten Geolog, mungkin sekarang setara dengan D-3) yang berlangsung 3 tahun.

Pendidikan ini dilaksanakan oleh Dienst van het Mijnbouws (Dinas Pertambangan) di Jl Diponegoro 58 Bandung, dengan para ahli geologi daninsinyur pertambangan yang bekerja pada instansi tersebut sebagai pardosennya, antara lain Van Bemmelen. Pendidikan ini diikuti pada umumnya orang-orang Belanda, dan hanya ada 2 orang Indonesia yang mengikutnya sampai selesai yaitu F. Lasut dan Sunu Sumosusastro. Persyaratan mengikuti pendidikan itu adalah lulus sekolah menengah atas, yaitu HBS (Hogere Burgerschool, khusus untuk orang Belanda) atau AMS B ( Algemeene Middlebare School , opsi B/IPA, terutama untuk orang pribumi/Indonesia). Kursus ini hanya berlangsung 1 angkatan saja (3 tahun) karena Tentara Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942.

Maka kedua orang inilah sebetulnya merupakan ahli geologi Indonesia pertama dan boleh dikatakan juga pionir dalam pendidikan geologi.

Semasa pendudukan Jepang pada ahli geologi dan insinjur pertambangan Belanda masih dipekerjakan oleh penguasa Jepang, khususnya untuk menterjemahkan laporan2 geologi ke dalam bahasa Inggris, namun Van Bemmelen masih sempat supervisi pekerjaan geologi lapangan yang dilaksanakan F. Lasut mengenai endapan jarosit di Ciater, Lembang di Utara Bandung. Selain itu juga masih ada geolog orang Swiss (waktu itu negara netral dalam kecamuk perang dunia ke II) yang masih bekerja pada Dinas Pertambangan di Bandung itu. Jadi pada waktu pendudukan Jepang ini A. F. Lasut dan Sunu Sumosusastro adalah merupakan staf orang Indonesia di Dinas Pertambangan di Bandung, dan memegang pimpinan dalam pengambil-alihan instansi ini pada waktu Jepang bertekuk-lutut dan terjadi proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.

Mereka inilah yang berhasil menyelamatkan arsip dan buku2 geologi ke Jl Braga di Bandung Selatan, karena kantor Dinas Pertambangan di Jl. Diponegoro yang berada di Bandung Utara diduduki tentara Inggris/Belanda, kemudian dipindahkan secara berangsur ke Ciwidey, Tasikmalaya ke Magelang dan akhirnya ke Jogya sejalan dengan mundurnya tentara RI. Di antara arsip dan buku2 ini tidak termasuk manuskrip buku the Geology of Indonesia hasil karya van Bemmelen itu, yang merupakan cerita lain.

Pada waktu para ahli geologi dan insinyur pertambangan Belanda harus masuk kamp interniran (kompleks tahanan perang), Van Bemmelen menitipkan naskah serta buku-bukunya itu pada orang yang sangat dipercayainya, seorang hoofd mantri opzichter (mantri ukur kepala) yaitu Djatikusumo untuk diselamatkan. Pada waktu Van Bemmelen yang telah dibebaskan dari tahanan meminta kembali titipannya ini, yang bersangkutan menolak dengan alasan sebagai seorang pejuang kemerdekaan ingin menyelamatkan arsip ini untuk kepentingan bangsa Indonesia , dan kemudian membawanya ke tempat asalnya yaitu Malang . Namun kemudian manuskrip dan arsip/buku lainnya dia serahkan ke Dinas Pertambangan yang sudah mengungsi ke Magelang dan kemudian ke Jogyakarta.

Pada waktu pemerintahan RI mengungsi ke Jogyakarta, maka dibentuk pula suatu Pusat Jawatan Geologi dan Pertambangan dibawah naungan Departement Kemakmuran di Magerang, yang dipimpin oleh A.F. Lasut (sebagai kepala) dan (Sunu Sumosusastro sebagai wakilnya). Selain itu juga didirikan beberapa sekolah untuk mendidik tenaga geologi dan pertambangan secara darurat pada Nopember 1946 yaitu:

Sekolah Geologi Pertambangan Pertama (SGPP, untuk pendidikan juruukur geologi
Sekolah Geologi Pertambangan Menengah (SGPM, untuk pendidikan juruukur geologi penilik)
SekolahGeologi Pertambangan Tinggi (SGPT), untuk pendidikan asisten geologi, dengan dosennya antara lain Sunu Sumosusastro (kepala sekolah) dan A.F. Lasut. N Lembaga pendidikan ini kemudian pindah ke Jogyakarta, dan nama SGPT berubah menjadi Akademi Geologi dan Pertambangan (AGP).
Pada serangan agresi Belanda ke Jogya pada tahun 1948, A.F. Lasut selaku Kepala Jawatan Tambang dan Geologi diambil tentara Belanda dari rumahnya dan kemudian ditembak dipinggir jalan pada 7 Mei 1949 sebagai seorang pejuang kemerdekaan. Lembaga pendidikan ini berakhir dengan ujian akhir pada akhir tahun 1949 sehingga berlangsung hanya 1 angkatan saja. Di antara para lulusan pendidikan yang pertama dan terakhir ini adalah: M.M. Purbohadiwidjo, Djajadi Hadikusumo (kemudian pendiri IAGI), Harli Sumadiredja, R. Prajitno (Ketua IAGI yang ke-2), Surjo Ismangun, G.M Mohamad Slamet Padmokesumo, Mohamad Jasin Rachmat dan Sanjoto Soeseno dan Sumardi Umarkatab.

Sementara itu Bp Suroso, seorang ahli geologi praktek (autodidak) ex pegawai explorasi Shell/BPM juga mendirikan Sekolah Menengah Geologi di Jogyakarta. Yang akhirnya menjadi Jurusan Tehnik Geologi Universitas Gadjah Mada.

“Wah Pakdhe bagus dongengan Aki Koesoemadinata. Nanti sekalian minta dituliskan sejarah pembentukan IAGI donk”

Catatan: Saat ini sudah banyak Universitas dan Institute Negeri serta swasta yang menyelenggarakan pendidikan geologi diantaranya .

Medan
Institut Teknologi Medan (S1)
Institut Sains dan Teknologi Td Pardede (S1)
Jakarta
Universitas Trisakti (S1)
Cikarang, Kab Bekasi
Institut Teknologi Sains Bandung (S1)
Bogor
Universitas Pakuan (S1)
Bandung
Institut Teknologi Bandung (S1,S2,S3)
Universitas Padjadjaran (S1,S2,S3)
Sekolah Tinggi Teknologi Mineral Indonesia (S1)
Politeknik Geologi dan Pertambangan AGP (D3)
Purwokerto
Universitas Jenderal Soedirman (S1)
Semarang
Universitas Diponegoro (S1)
Yogyakarta
Universitas Gadjah Mada (S1,S2,S3)
Institut Sains dan Teknologi Akprind (S1)
Universitas Pembangunan Nasional Veteran(S1,S2)
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (S1)
Surabaya
Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya (S1)
Kutai Kartanegara
Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong (D3)
Makassar
Universitas Hasanuddin (S1)
Sorong
Universitas Victory Sorong (S1)
Manokwari
Universitas Negeri Papua (D3)
Jayapura
Universitas Sains Dan Teknologi Jayapura (S1)
Universitas Ottow Geissler Jayapura (S1)
Dan mungkin masih akan terus berkembang karena kebutuhan ahli geologi di tingkat kabupaten suatu saat nanti adalah sebuah keharusan karena untuk mengatur serta mengetahui kondisi geologi kabupaten masing-masing. Mengerti sumberdaya alamnya, sifat dan gejala kebencanaan, serta kebutuhan pemeliharaan lingkungan (Ekstraksi, Mitigasi, dan Kosnervasi)

---> mantap tulisanmu Prof, semoga selalu sehat selalu...amin..7

Selasa, 20 November 2012

Foto Bapak Pertambangan Indonesia

Hari pertambangan Indonesia diperingati setiap tanggal 28 September. Dasarnya adalah Keppres no 22 tahun 2008. Dan adapun bapak Pertambangan Indonesia adalah bapak AF Lasut ( Arif Frederik Lasut ). Ia dikenal memiliki sifat tegas, dan tanpa kompromi dengan Belanda. Salah satu perjuangannya adalah mendirikan Pusat Jawatan Tambang dan Geologi. Kantornya didapatkan dengan cara merebut paksa kantor Jawatan Geologi Jepang.

Berikut salah satu biografi yang diambil dari merdeka.com sebagai berikut:
Arie Frederik Lasut lahir di desa Kapataran, Minahasa, Sulawesi Utara, 6 Juli 1918, sebagai putra tertua dari 8 bersaudara, anak pasangan Darius Lasut dan Ingkan Supit. Dia adalah tokoh perintis dalam ilmu pertambangan dan geologi di Indonesia pada masa perang kemerdekaan.

A. F. Lasut mulai mendalami ilmu geologi saat dia mengikuti Asistent Geologen Cursus di Bandung yang diselenggarakan oleh Dienst van den Mijnbouw pada tahun ajaran 1939-1941. Kursus Asisten Geologi tersebut adalah kursus dengan angkatan pertama yang diselenggarakan menjelang meletusnya Perang Dunia II pada tahun 1939-1945. Lasut bersama dengan beberapa tokoh lainnya yakni R. Sunu Soemosoesastro, J.van Gorkom dan Meinecke menyelesaikan kursus dan mulai kariernya sebagai geologiwan pada 12 Pebruari 1940.Kemampuannya sebagai geologiwan dalam kariernya telah ditunjukkan dari laporan-laporannya yang berturut-turut tahun 1941, 1943, 1944 dan 1945.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945, A.F. Lasut bersama dengan R. Sunu Somosoesastro dan rekan-rekan sejawat lainnya berjuang untuk mengambilalih kantor Sangyobu Chishitsuchosacho yang kala itu dikuasai oleh Jepang. Pada waktu itu, aksi perlawanan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang terjadi di mana-mana mulai dari kawasan pertambangan, kantor pusat Sangyobu Chishitsuchosacho di Bandung hingga ke kawasan pertambangan yang tersebar di daerah-daerah.Seiring dengan berjalannya perang, Lasut dan rekannya kemudian mendirikan pusat Djawatan Tambang dan Geologi dengan kantor yang sama. Pengelolaan Pusat Djawatan yang semula dipimpin oleh R. Ali Tirtosoewirjo dan kemudian oleh digantikan oleh R. Sunu Soemosoesastro. A.F. Lasut sendiri menjadi salah satu dari 7 orang anggota Dewan Pimpinan dan merangkap sebagai Kepala Laboratorium. Ketika R. Sunu Soemosoesastro menjabat sebagai Ketua Dewan Buruh, A.F. Lasut dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Buruh merangkap Wakil Kepala Pusat. Tidak lama kemudian, A. F. Lasut ditarik untuk menjabat sebagai Kepala Pusat sekaligus menjadi Kepala Bagian Perusahaan sebelum akhirnya dia ditugaskan untuk menjabat sebagai Kepala Bagian Geologi.

 Selama Perang Kemerdekaan 1945-1949 melawan tentara Belanda yang didukung oleh pasukan sekutu, A.F. Lasut memimpin Pusat Djawatan mengungsi dari satu tempat ke tempat yang lain selama 4 tahun dari rentang bulan Desember 1945 hingga Desember 1949. Karena tekanan dari pasukan tentara Belanda yang terus-menerus, maka Kantor Pusat Djawatan berturut-turut diungsikan dari Bandung ke Tasikmalaya dan ke Solo (Maret 1946), ke Magelang (September 1946), kemudian tercerai-berai ke beberapa desa (Borobudur, Muntilan, Dukun, Serumbung) pada Oktober 1947, dan akhirnya yang berakhir di Yogyakarta pada November 1947. Sebagai pejuang yang gigih, A.F. Lasut bersama rekan sejawatnya berhasil merebut dan mempertahankan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi.

Tidak hanya merebut Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, dia juga menyelamatkan dan mengembangkannya. Ketika memimpin Djawatan Tambang dan Geologi, Lasut membuat suatu aturan yang mengatur bahwa semua perusahaan pertambangan harus berada di bawah pengawasan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, hal ini diumumkannya pada bulan Oktober 1945. Untuk mengembangkan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, Lasut bersama dengan R. Sunu Soemosoesastro membuka Sekolah Pertambangan dan Geologi Tinggi pada tahun 1946 di Magelang dan Yogyakarta, dan membuka cabang kantor Pusat Djawatan di Bukit Tinggi, Sumatera. Di sela-sela kesibukannya seperti itu, A.F. Lasut masih sempat melakukan penyelidikan geologi di beberapa tempat. Hal ini terlihat di dalam karya tulisnya yang terakhir pada tahun 1948, tentang Berita Tahunan 1945-1947, yang ditulis pada tahun 1948 tetapi baru terbit pada tahun 1962.

Karena kepintarannya dalam hal ilmu pertambangan dan geologi, Lasut menjadi incaran bangsa Belanda. Lasut tetap bersikeras untuk menolak bekerjasama dengan Belanda hingga akhir hayatnya. Ketika berusia 30 tahun, Lasut diculik dari rumahnya dan ditembak mati oleh Belanda pada 7 Mei 1949 di daerah Pakem (sekitar 7 kilometer di utara Yogyakarta). Jenazah Lasut kemudian dimakamkan di Kintelan Yogyakarta, di sebelah makam isterinya, Nieke Maramis, yang telah lebih dulu meninggal pada Desember 1947.  Atas jasa-jasanya, A.F. Lasut kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969. 

Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh


Foto Presiden Sukarno sholat di sebuah masjid di Amerika

Foto yang diambil saat presiden Sukarno berkunjung ke Amerika dan melaksanakan sholat di salah satu masjid.
Sebuah dokumentasi sisi religius presiden pertama Indonesia.



Senin, 19 November 2012

Coal is Batubara

Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil.

Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification).Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubarayang jenisnya bermacam-macam.

Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) --dikenal sebagai zaman batu bara pertama-- yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu.
Kualitas dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik'. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara coklat (brown coal). 


Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah.Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu bara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

Fenomena harga batubara

Batubara sebagai suatu komoditas industri energi ditentukan berdasarkan kualitas, metode penambangan, peringkat batubara, dan wilayah geografis.

Seperti pada umumnya diketahui, batubara secara kualitas terbagi menjadi empat klasifikasi utama (lignit, sub bituminus, bituminus,antrasit), dimana tergantung pada jenis dan jumlah karbon. Hal ini menunjukkan jumlah energi panas yang dihasilkan. Harga batubara (secara normal) akan tinggi pada kandungan kalor yang tinggi.

Metode penambangan terbuka umumnya menghasilkan batubara dengan harga lebih rendah daripada yang diekstrasi dari tambang bawah tanah. Biasanya biaya produksi tambang terbuka akan lebih rendah. Perbedaan harga tersebut biasanya terkait dengan kondisi tambang yang lebih sulit, bahaya, serta biaya produksi yang lebih bagi perusahaan.

Karena dalam penambangan batubara aktivitas pengangkutan merupakan aktivitas yang banyak menggunakan unit serta memerlukan proses yang lebih lama dalam siklus operasinya, maka biaya yang dikeluarkan akan memiliki porsi tinggi. Namun ini harus dilakukan dalam penambangan batubara. Di banyak tambang, biaya pengangkutan (transportasi) merupakan biaya tertinggi, lebih tinggi dari biaya penambangan di lokasi tambang.

Penjualan batubara umumnya terdiri dari dua tipe utama, kontrak jangka panjang dan 'on spot'.  Harga 'on spot' dapat berfluktuatif berdasarkan kondisi pasar jangka pendek, sementara harga kontrak relatif stabil.

Tahun 2012, menjadi tahun yang sensasional bagi industri tambang batubara. Harga batubara di awal tahun yang berkisar pada US$ 100/ton, turun menjadi rata rata US$ 80/ton di semester 2. Beberapa analis dan tokoh di kementrian ESDM, mengatakan hal ini disebabkan krisis ekonomi di Eropa, India dan China. Selain itu, Amerika Serikat juga sudah mulai melakukan ekspor batubara.

Wiuh...dunia tambang Indonesia

Dunia pertambangan Indonesia sebenarnya memiliki peran penting untuk pendapatan negara kita. Diperkirakan sekitar 70% persen pendapatan negara non pajak berasal dari sumber alam. Tentunya tambang memiliki peran signifikan. Sumbernya pun banyak. Dari minyak, batubara, gas, timah, nikel, (dan lainnya)  hampir semuanya.

Di sisi lain, dunia pertambangan masih dijumpai konflik-konflik antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat maupun perusahaan lain (  misalnya perusahaan perkebunan, kehutanan dll).
JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) juga mencatat pada 2011, terdapat 3,7 juta hektar kawasan hutan yang tumpang tindih dengan lokasi tambang.
Data yang lain menyebutkan JATAM Kalimantan Timur menemukan 70.66% wilayah kota Samarinda akan digunakan usaha pertambangan.

Selain itu masih banyak dijumpai konflik-konflik lain. Konflik lingkungan, konflik perijinan, serta berbagai kepentingan yang melibatkan berbagai unsur (pemerintah, parpol, TNI, polisi, de el el) merupakan tantangan besar yang ada di dunia tambang Indonesia.

Dunia tambang Indonesia akan tetap mendapat tempat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Beberapa kondisi yang disebutkan diatas harus segera diselesaikan untuk kelancaran industri, sustainable environment, serta kemajuan ekonomi Indonesia.

So let's do the best for Indonesia...!!