Kamis, 29 Maret 2012

Sejarah Sepeda Lipat

Sepeda lipat makin banyak dijumpai, tak beda juga di Kalimantan. Jika kita bersepeda di Minggu pagi, jumlah pemakai sepeda lipat tambah banyak.
Sepeda lipat (folding bike), biasa disingkat seli, menawarkan kepraktisan bagi para pesepeda dalam hal ukuran dan ruang huni. Tentu saja jenis sepeda ini sangat gampang dibawa oleh tangan (hand carry) maupun small car (bahkan bagasi pesawat). Saya pun salah satu yang tertarik dengan sepeda tersebut.
Umumnya, sepeda lipat memiliki area folding di frame dan handle bar. Beberapa sepeda lipat khusus mempunyai kondisi berbeda.
Bagaimana sejarah sepeda lipat? Berikut bahasannya.
Sepeda lipat dan penemu aslinya masih menjadi kontroversi, salah satu penemuan yang dipercaya dan telah didokumentasikan menjadi penemu sepeda lipat pertama adalah seorang Amerika bernama Michael B. Ryan, patennya diajukan pada tanggal 26 Desember 1893 di amerika, dan baru dikeluarkan pada 17 April 1894 dengan nomor paten 518.330. Salah satu kutipan dari paten yang dikeluarkan itu berbunyi “Prinsip dari penemuan saya ini adalah untuk memproduksi sepeda, dibuat sehingga dapat dengan mudah dilipat dan dengan demikian tidak menghabiskan tempat bila tidak digunakan atau bila diangkut.

Pria Inggris William Grout juga diyakini sebagai penemu sepeda lipat  di 1878 namun kemudian temuannya berupa roda depan lipat dan rangka yang bisa dibongkar membuatnya lebih dikenal sebagai sepeda ‘portabel’. Pada 1980, dua peristiwa signifikan sejarah seli terjadi. Pertama, Andrew Ritchie mulai memproduksi seli Brompton di 1981.
Kemudian di 1982, Dr David Hon mulai memproduksi sepeda lipat Dahon pertama. Kedua merek ini sangat terkenal hingga kini. Dahon sendiri menjadi pembuat sepeda lipat terbesar dunia dengan penguasaan pasar 60%. Sepeda lipat pertama Hon disebut ‘Da Bike’. Seiring waktu, popularitas sepeda lipat makin dikenal terutama di Eropa, Asia dan kota besar AS.
Selain digunakan untuk kegiatan sipil, misalnya traveling dan olahraga, sepeda lipat ternyata juga diminati oleh kalangan militer. Sepeda ini karena kepraktisan dalam pengoperasian dan juga mudah dibawa membuat kalangan militer seperti pasukan Green Baret untuk menggunakan sepeda lipat sebagai “Alutsista” tambahan. Sepeda lipat versi paratrooper biasa diterjunkan dari pesawat angkut bersama pasukan penerjun di daerah-daerah operasi.
Saat ini terdapat lebih dari 100 pembuat sepeda lipat dan jumlahnya terus bertambah. Kesimpulannya, itulah sejarah sepeda lipat.

Field Break Maret '12

Field Break ini dilewati di Sleman. Banyak waktu terpakai di RSU PKU Muhammadiyah untuk periksa kesehatan anak. Kasihan juga sih kecil kecil harus pemeriksaan laboratorium beberapa kali. Tapi Alhamdulillah kondisinya sangat baik waktu di Jogja. Dan yang hebat ternyata dia suka senyum dan ketawa,terutama ke bundanya.
Keluarga besar juga berkumpul,suatu hal yang agak sulit dilakukan mengingat kesibukan dan kondisi masing-masing.
Besok kegiatan rutin di pekerjaan telah kembali, Bismillah......

Kuliner Bakso Kuning Gading

Hari sudah menjelang sore, cuacanya agak mendung. Seharian di klinik dan belum makan siang membuat aku segera googling kuliner di sekitar wilayah Kotabaru. Pengen bakso nih.
Muncul 2 rekomendasi, bakso kuning gading dan bakso bethesda. Karena lebih banyak muncul pilihan satu, langsung diputuskan mencari bakso Kuning Gading. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh.
Lalu lintas Yogya semakin padat. Gawat nih kalau infrastruktur jalan tidak segera dibenahi, pasti akan semakin ketinggalan dengan laju penambahan kendaraan. Untungnya pepohonan di wilayah ini membuat suasana rindang masih terasa. Ya masih terasa,seperti ...15 tahun lalu saat ikut bimbel di sekitar Kotabaru.
Nggak sulit ketemu dengan jalan Abu Bakar Ali, dan warung bakso tujuan segera ketemu setelah melewati para penjual helm motor.

Warung bakso tersebut konon didirikan oleh Abidin. Dulunya jualan keliling di daerah itu, tapi sejak tahun 1984 mulai menyewa kios, walaupun sempat pindah pindah dulu. Kwalitas baksonya katanya selalu dipertahankan, sehingga membuat usahanya semakin terkenal. Infonya,  sering dapat pesanan ke Jepang. Walaupun sudah mulai maju dan terkenal, tapi tidak ada cabang lain warung bakso ini. Abidin juga berhasil mengkuliahkan anaknya.

Warungnya diberi nama 'warung Gading Kuning' karena warungnya warna kuning. Tapi kemarin yang dijumpai warna kuning hanyalah pada spanduk yang mulai tertutup ranting pohon. Beberapa mobil sudah parkir duluan. Setting warungnya masih menunjukkan ketradisionalan ala warung bakso tahun 80an.
Menunya bakso babat dan bakso ayam, sebenarnya ada empat macam tapi yang lain agak lupa. Harganya seragam, Rp 13.000.
Tamu tamu lain keliahatannya bukan dari Yogya. Mungkin mereka sudah tahu duluan warung bakso ini. Bangku kayu sebagian besar sudah diisi tamu lain.
Di salah satu dinding terpasang stiker dukungan terhadap keistimewaan Yogya, serta tempelan dari salah satu situs yang merekomendasikan warung ini sebagai salah satu tujuan kuliner.

Tujuh menit kemudian, sepiring bakso dan segelas jeruk anget datang. Rasanya enak juga. Mungkin juga karena sudah lama nggak makan bakso. Penyajiannya ditambahkan bakso goreng, potongan tahu, dan sawi.

Alhamdulillah....